Memahami
aturan fiqih islam antara kebolehan dan kepantasan ini menjadi
sangatlah penting, dimana di beberapa masyarakat kita sekarang ini
sering muncul pro-kontra antara pihak yang setuju setuju dan yang tidak
setuju dalam hal melakukan sesuatu. Terkadang muncul anggapan apakah
yang sudah dilakukan oleh seseorang tersebut ada aturan yang dilanggar.
Mungkin tidak ada aturan yang di langgar, tapi kurang pantas untuk
dilakukan.
Hal tersebut bukan hal yang mengada-ada namun dicontohkan oleh Rasululloh SAW. Seperti halnya beberapa kisah berikut :
Contoh kisah 1
Dari Abu Hurairah ra, suatu hari ada seorang yang datang menemui Nabi SAW menagih hutangnya dengan cara yang kasar. Sebagian sahabat merasa kesal pada orang ini dan ingin memukulnya. Rasuullah SAW berkata: “Biarkan dia. Orang itu punya hak untuk bicara. Bayarlah hutangku sesuai dengan ukurannya”. Para sahabat berkata :”Ya Rasulullah, kami tak menemukannya (hewan yang seukuran dengan hewan yang dipinjam), kalau yang lebih besar, ada”. Rasulullah SAW bersabda: “Berikan pada orang itu. Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik saat melunasi hutang”. (Muttafaq Alaih)
Dari Abu Hurairah ra, suatu hari ada seorang yang datang menemui Nabi SAW menagih hutangnya dengan cara yang kasar. Sebagian sahabat merasa kesal pada orang ini dan ingin memukulnya. Rasuullah SAW berkata: “Biarkan dia. Orang itu punya hak untuk bicara. Bayarlah hutangku sesuai dengan ukurannya”. Para sahabat berkata :”Ya Rasulullah, kami tak menemukannya (hewan yang seukuran dengan hewan yang dipinjam), kalau yang lebih besar, ada”. Rasulullah SAW bersabda: “Berikan pada orang itu. Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik saat melunasi hutang”. (Muttafaq Alaih)
Berdasarkan dari hadis ini, para ulama
mengambil pelajaran bahwa boleh ketika membayar hutang dilebihkan selama
tidak ada perjanjian sebelumnya.
Contoh kisah 2
Dari Abu Qatadah ra berkata : Aku mendengar Rasulullah saw bersabda : “Barang siapa yang ingin ditolong Allah pada saat sedang kesulitan di hari Kiamat nanti, maka hendaklah dia memberi kelonggaran pada orang susah yang berhutang atau bebaskan saja hutangnya”. (HR Muslim)
Dari Abu Qatadah ra berkata : Aku mendengar Rasulullah saw bersabda : “Barang siapa yang ingin ditolong Allah pada saat sedang kesulitan di hari Kiamat nanti, maka hendaklah dia memberi kelonggaran pada orang susah yang berhutang atau bebaskan saja hutangnya”. (HR Muslim)
Dari hadist tersebut diajarkan bahwa
menagih hutang itu adalah hak, namun memberi penangguhan pembayaran atau
membebaskan hutang adalah lebih utama.
Contoh kisah 3
Dari Jabir ra, sesungguhnya Nabi saw membeli seekor unta dari dia (Jabir). Setelah ditimbang, lalu Nabi saw membayar dengan uang yang dilebihkan. (Muttafaq Alaih)
Dari Jabir ra, sesungguhnya Nabi saw membeli seekor unta dari dia (Jabir). Setelah ditimbang, lalu Nabi saw membayar dengan uang yang dilebihkan. (Muttafaq Alaih)
Dari contoh kisah-kisah tersebut banyak terkait dengan urusan muamalah antar manusia (jual-beli, pinjam-meminjam)
Sedangkan contoh berikut berkaitan dalam hal ibadah
Aurat laki-laki dalam shalat menurut aturan fiqih adalah antara pusar sampai lutut. Jika dalam sholat hanya bagian itu saja yang ditutupi, maka shalatnya tetap sah. Namun perhatikan bagaimana Allah memerintahkan kaum muslimin saat akan melakukan ibadah shalat :
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (Al A’raf 7 : 31)
Aurat laki-laki dalam shalat menurut aturan fiqih adalah antara pusar sampai lutut. Jika dalam sholat hanya bagian itu saja yang ditutupi, maka shalatnya tetap sah. Namun perhatikan bagaimana Allah memerintahkan kaum muslimin saat akan melakukan ibadah shalat :
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (Al A’raf 7 : 31)
Beberapa contoh lain dapat dibaca di file berikut :
Materi Kajian »
Kadang-kadang seseorang melakukan
sesuatu hal, lalu menjadi kontroversi. Sekilas secara hukum (hukum agama
dan negara) memang tak ada yang dilanggar lalu mengapa kontra? Mungkin
ada aturan kepantasan yang dilanggar. Ingat, aturan hukum fiqih islam
tak hanya masalah kebolehan, namun ada juga unsur kepantasan.
Pentingnya pendidikan agama sejak dini
Tak dapat disangkal, bahwa semua itu karena minimnya pendidikan agama sedari dini, sejak manusia dalam kandungan.
Sejak
kecil harusnya seorang anak tidak dibiarkan berkeliaran di luar
kontrol orang tuanya. Orang tua terkadang sibuk mencari nafkah, dengan
dalih demi kelangsungan hidup keluarga. Mereka lupa, hakekatnya
pendidikan akhlak dan kasih sayang kepada anak adalah lebih penting dari
sekedar menimbun uang.
Anak, amanah atas kedua orang tua
Kita tak perlu heran terhadap mereka yang telah menyia-nyiakan perintah Allah azza wajalla di
dalam hak anak dan keluarga mereka.
Seandainya api dunia mengenai anaknya atau nyaris menyentuhnya, pasti ia akan berjuang sekuat tenaga untuk menghindarkan anaknya dari api tersebut, dan buru-buru pergi kedokter untuk segera mengobati luka-lukanya. Adapun api akhirat, maka ia tidak mau mencoba untuk membebaskan anak-anak dan keluarganya darinya. Wallahu al Musta’an.
Seandainya api dunia mengenai anaknya atau nyaris menyentuhnya, pasti ia akan berjuang sekuat tenaga untuk menghindarkan anaknya dari api tersebut, dan buru-buru pergi kedokter untuk segera mengobati luka-lukanya. Adapun api akhirat, maka ia tidak mau mencoba untuk membebaskan anak-anak dan keluarganya darinya. Wallahu al Musta’an.
Padahal Allah azza wajalla telah berfirman, artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada meraka dan selalu
mengerajakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim:6)Seorang
ayah adalah penanggung jawab pertama, lantaran ia sebagai pemimpin
dalam rumah tangganya, maka ia akan ditanya oleh Allah tentang rumah
tangganya. Rasulullah shalallahu ‘alaihiwasallam bersabda:
“Seorang
suami adalah pemimpin dalam keluarganya, dan ia akan ditanya atas
kepemimpinannya, dan seorang istri adalah pemimpin dalam rumah tangga
suaminya dan anaknya, maka ia akan ditanya tentang mereka.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Oleh
sebab itu, kedua orang tua harus bangkit melaksanakan kewajibannya
terhadap anak, berupa perhatian, pengawasan, dan pendidikan yang baik,
agar kelak menjadi generasi yang dapat memberi manfaat bagi orang tua
dan kaum Muslimin yang lain.
Hal pertama yang perlu diajarkan kepada anak
Orang
tua, terutama ibu, memiliki peranan terbesar dalam pendidikan
anak-anaknya. Akan tetapi seringkali mereka tidak mengetahui dari mana
mereka harus mulai menanamkan akidah Islam pada buah hatinya, bagaimana
mengajarkannya dan bagaimana menancapkannya pada hati mereka.
Rasulullah shalallahu ‘alaihiwasallam adalah
teladan terbaik bagi kita dalam segala hal, termasuk dalam pergaulan
beliau dengan anak-anak. Dalam masalah ini, kita bisa memetik lima
pokok dalam pendidikan beliau terhadap akidah anak-anak:
1. Membiasakan anak mengucapkan dan mendengarkan kalimat tauhid dan memahamkan maknanya jika ia telah besar
Wajib atas orang tua untuk menumbuhkan tauhid terhadap Allah azza wajalla pada anak-anaknya sedari dini. Oleh karena itu, ajarkan dan pahamkan anak bahwa Rabb mereka adalah Allah azza wajalla, Dialah yang menciptakan, yang memberi rejeki, yang menghidupkan dan makna-makna rububiyyah Allah azza wajalla lainnya. Setelah mengenal keagungan Allah azza wajalla dalam
rububbiyah-Nya, iringilah dengan mengajarkan bahwa Allah-lah yang
berhak untuk disembah, diibadahi, disyukuri, diharapkan dan hanya
kepada-Nya pula ditujukan segala jenis ibadah. Tak kalah pentingnya
memperingatkan mereka dari syirik dan menjelaskan bahayanya kepada
mereka.
2. Menanamkan kecintaan anak terhadap Allah azza wajalla
2. Menanamkan kecintaan anak terhadap Allah azza wajalla
Dalamnya kecintaan kepada Allah azza wajalla dan
tertanamnya keimanan terhadap takdir-Nya membawa seorang anak untuk
bisa menghadapi hidupnya dengan optimis dan tawakkal. Benih cinta
kepada Allah yang tertanam akan menumbuhkan keberanian, karena dia akan
menyadari bahwa tidak ada yang pantas ditakuti kecuali kemurkaan-Nya.
Gambaran
keberanian yang menakjubkan ini terlukis pada diri seorang anak
kecil, hasil didikan generasi mulia, Abdullah bin Az-Zubair. Suatu
saat Abdullah dan anak-anak sebayanya berkumpul dan bermain-main di
suatu jalan. Ketika melihat Umar bin Khattab radhiyallahuanhu lewat
jalan tersebut, semua anak berlarian kecuali Abdullah bin Az-Zubair.
Menyaksikan peristiwa itu, Umar merasa takjub sehingga bertanya kepada
anak kecil itu, apa sebabnya ia tidak lari seperti anak-anak lainnya.
Abdullah kecil pun menjawab, “Aku tidak bersalah sehingga aku harus
lari, dan aku tidak takut pada Anda, sehingga aku harus meluaskan jalan
bagi Anda.”
Inilah sosok mungil Abdullah bin Az-Zubair, tidak ada yang ditakutkannya kecuali kemurkaan Rabbnya karena melanggar larangan atau meninggalkan perintah-Nya.
3. Menanamkan kecintaan anak pada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihiwasallam
Dari Umar bin Khattab radhiyallahuanhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihiwasallam bersabda,
“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dia cintai daripada ayahnya, anaknya dan seluruh manusia.” (H.R. Bukhari).
Betapa pentingnya kecintaan terhadap Nabi shalallahu ‘alaihiwasallam sampai-sampai tidak akan sempurna iman seseorang tanpanya.
Membaca sirah (sejarah) Rasululullah shalallahu ‘alaihiwasallam
dan mengenalkan mereka akan sifat-sifat beliau yang mulia merupakan
upaya terbaik untuk menambahkan kecintaan mereka kepada beliau.
4. Mengajarkan pada anak Al Qur’an
Sepantasnya
bagi orang tua untuk memulai pelajaran bagi putra-putrinya dengan Al
Qur’an sejak dini. Yang demikian itu untuk menanamkan pada mereka
bahwa Allah azza wajalla adalah Rabb mereka dan Al
Qur’an adalah firman-Nya. Menancapkan ruh Al Qur’an pada hati-hati
mereka dan cahaya Al Qur’an pada pikiran-pikiran mereka, sehingga
mereka tumbuh di atas kecintaan kepada Al Qur’an. Hati mereka menjadi
terikat padanya sehingga mereka siap untuk mengikuti perintahnya dan
berhentidari larangan-larangan yang ada padanya, berakhlak dengan
akhlak Al Qur’an dan berjalan di atas manhajnya.
Imam
As-Suyuthi mengatakan bahwa mengajarkan Al Qur’an pada anak merupakan
salah satu pokok Islam agar mereka tumbuh di atas fitrahnya, dan
cahaya hikmah itu lebih dahulu menancap di hati mereka sebelum
menetapnya hawa nafsu, kotoran-kotoran maksiat dan kesesatan. Para
salafus shaleh biasa mengajari anak-anak mereka Al Qur’an sebelum
mencapai usia 3 tahun, sehingga kita akan dapati pada usia yang masih
belia, mereka telah menghapal Al Qur’an. Sebut saja Imam Syafi’i,
beliau telah hapal Al Qur’an pada usia 10 tahun, demikian pula Imam
Nawawi rahimahumallah.
5. Mendidik anak untuk berakhlak yang baik
Islam
sebagai agama yang sempurna dan relevan di setiap tempat dan zaman
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak. Nabi diutus tidak lain
untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sebagaimana sabdanya,
“Aku diutus oleh Allah tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang sholeh” (H.R. Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani).
Akhlak merupakan tolak ukur iman seseorang. Sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihiwasallam bersabda,
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling sempurna akhlaknya.” (H.R. Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al Albani).
Dalam riwayat lain, Rasulullah shalallahu ‘alaihiwasallam pernah ditanya tentang penyebab yang paling banyak orang masuk surga. Beliau menjawab,
“Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” (H.R. Tirmidzi dan Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani)
“Tidak ada sesuatu yang paling berat dalam timbangan melebihi akhlak yang baik.” (H.R. Ahmad dan Abu dawud).
Hadits-hadits
di atas menunjukkan betapa akhlak yang baik memiliki keutamaan dan
ketinggian derajat. Sudah sepantasnya apabila kita berusaha untuk
memilikinya. Tetapi perlu diingat bahwa ukuran baik buruknya akhlak
seseorang tidaklah didasari oleh selera individu masing-masing, atau
menurut adat istiadat yang berlaku di masyarakat. Semuanya harus
berpedoman menurut norma Islam.
6. Memilih sekolah/lembaga pendidikan yang baik bagi anak
Adanya generasi yang buruk, bukan karena kesalahan mereka semata, namun ada faktor lain yang turut menentukan hal tersebut.
Selain
keluarga sebagai sekolah pertama bagi anak-anak, pendidikan formal
pun memiliki peranan penting dalam pembentukan kepribadian seorang
anak. Akan tetapi, pendidikan formal saat ini, pada umumnya tidak
mampu mendidik anak didiknya dengan baik. Contoh, sekolah/lembaga
pendidikan hanya sekedar mentransfer ilmu, sedangkan pembinaan
kepribadian jarang dilakukan. Belum lagi kurikulum yang diterapkan
sebagian besar adalah ilmu umum, sedangkan ilmu agama sangat sedikit
sekali, menyebabkan anak didik berperilaku kurang baik.
Inilah
setidak-tidaknya enam hal yang harus diperhatikan oleh orang tua,
agar apa yang mereka harapkan dan dambakan bagi anak-anak mereka bisa
tercapai. Tumbuh sebagai anak-anak dan generasi yang shaleh yang
beriman dan bertakwa kepada Allah, dan berguna bagi orang tua dan
masyarakat.
Wallahu a’lam
Sumber: Buletin Al-Balagh Edisi 013/Tahun I Jumadil Awwal 1431 H/30 April 2010. Diterbitkan oleh DPC Wahdah Islamiyah Bandung.
Selengkapnya ...